Oleh :Wakyudi, SP, M.Si
Dimasa sebelum kemerdekaan kaum
intelektual terutama para kalangan intelektual muda memiliki posisi terhormat
dimata kemanusiaan hingga mampu mengantarkan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Posisinya cemerlang berangkat dari kekuatan ekpresif membela rakyat Indonesia yang
tertindas. Hal tersebut bisa dilihat dari sejarah pergerakan – pergerakan pra kemerdekaan
yang dipelopori para mahasiswa STOVIA melalui gerakan Budi Utomo, cita cita
kemerdekaan Indonesia pertama kali dicetuskan orang orang terpelajar seperti
Dowes Dekker, Tjiptomangunkusumo dll. Perhimpunan Indonesia di Negara Belanda
merupakan arena memperjuangkan kemerdekaan Indonesia oleh para mahasiswa
Indonesia yang sedang belajar di neraga kincir tersebut. Sumpah pemuda yang
merupakan cikal bakal persatuan negara
Indonesia terbentuk tahun 1928 dipelopori kaum muda dan terpelajar.
Tidak terlepas dari peranannya, ketertarikan untuk mengupas keterkaitan
masalah peranan pemuda dan kaum intelektual dewasa ini, melihat dari sisi
aktual dan pundamental peranannya dikancah proses perjalanan bangsa Indonesia. Secara
aktual di Indonesia terjadi himpunan militer dan intelketual dalam menggerakan
roda pemerintahan Negara, peranan yang makin besar yang dimainkan kaum
intelektual di Indoensia dalam masalah – masalah politik, sosial, ekonomi dan
kebudayaan seperti paham paham gerakan politik tanah air kebanyakan
diintrodusir oleh kaum intelektual dan masalah – masalah perjuangan keagamaan
perlu peranan kaum intelektual juga dildalamnya. Adapun secara pundamental
sedemikian besarnya peranan perubahan sosial dimainkan para kaum intelektual. Melihat
kondisi kedua potensi diatas, tinjauan pembahasan peran intelektual muda
merupakan penting sebagai lokomotif teoritis menuju perubahan yang pundamental
secara nilai dan aktual dalam menjawab persoalan pembangunan bangsa hari ini.
MODAL INTELEKTUAL DALAM PEMBANGUNAN
Modal intelektual kini dirujuk sebagai faktor penyebab
sukses yang penting dan karenanya akan semakin menjadi suatu pumpunan perhatian
dalam kajian strategi organisasi dan strategi pembangunan. Penyimpulan seperti
ini dibasiskan di atas temuan-temuan tentang kinerja organisasi-organisasi,
khususnya organisasi-organisasi yang padat pengetahuan (knowledge-intensive organizations) (e.g. lihat Bounfour and
Edvinsson 2005; Lonnqvist dan Mettanen). Namun, pengalaman-pengalaman pada aras
mikro organisasi ini kini juga mulai ditransfer pada konteks kemasyarakatan
atau pembangunan pada umumnya. Tema inilah yang diangkat oleh Bounfour dan
Edvinsson dalam Intellectual Capital for Communities (2005). Menyikapi mengapa modal intelektual didudukkan di tempat
strategis dalam konteks kinerja atau kemajuan suatu organisasi atau masyarakat,
mungkin pertama dapat kita rujuk dari fenomena pergeseran tipe masyarakat dari
masyarakat industrialis dan jasa ke masyarakat pengetahuan. Drucker (1997,
2001) misalnya meramalkan datangnya dan sekaligus mendeskripsikan pergeseran ke
arah era masyarakat pengetahuan (knowledge
society) ini dalam bukunya Manajemen di Tengah Perubahan Besar. Dalam
masyarakat tipe ini, pengetahuan, juga kapabilitas untuk belajar (learning capability), dan tindakan
berinvestasi untuk maksud membangun basis-basis intelektual merupakan penggerak
perubahan yang cepat dalam masyarakat dan karenanya manusia sebagai pekerja
pengetahuan (knowledge worker)
menjadi aktor utamanya. Vitalnya kedudukan pengetahuan dalam masyarakat baru
ini telah disuarakan juga oleh Alfred Marshall dengan mengatakan bahwa
pengetahuan adalah mesin produksi yang paling powerful (dalam Bontis 2005).
Konteks ’revolusi pengetahuan’ (Auber 2005) seperti itu,
terjadi juga pergeseran model perekonomian ke arah ekonomi pengetahuan (knowledge economy) (Bounfour dan
Edvinsson 2005, Aubert 2005) atau ekonomi pembelajaran (learning economy) (Lundvall 1996). Perekonomian yang berat- atau dicirikan pengetahuan memiliki tiga plus satu
karakteristik kunci, yakni 1) riset dan pendidikan, 2) relasi ke pertumbuhan,
dan 3) pembelajaran dan kapabilitas, serta 4) pentingnya perubahan, dominasi
struktur yang lebih datar, dan modal sosial.
Bank Dunia juga telah memulai program yang disebut sebagai Knowledge for Development untuk mendorong perkembangan
negara-negara ke arah knowledge economy.
Kedua, pada tataran mikro perusahaan, tampaknya agak sulit untuk tidak menyertakan atau mengaitkan perkembangan ini di dalam konteks persaingan dan pencarian basis keunggulan kompetitif. Wacana kompetisi dan keunggulan bersaing mengalami pergeseran yang sangat signifikan dalam perkembangan kajian strategi bisnis dan pembangunan ekonomi. Mulanya dikenal teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif dalam konteks interaksi perdagangan atau perekonomian antar wilayah atau internasional. Kemudian muncul pemikiran brilian dari Michael Porter tentang keunggulan bersaing (competitive advantage) di era 1980an. Namun, pandangan Porter kemudian dianggap tidak mampu menjelaskan secara komprehensif fenomena keunggulan sebuah organisasi atau negara dari lainnya. Belakangan muncul aliran baru dalam analisis keunggulan bersaing yang dikenal dengan pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view of the firm/RBV). Pandangan terakhir ini saya nilai sebagai yang relevan dalam konteks perekonomian yang kuat dicirikan oleh keunggulan pengetahuan (knowledge/learning economy) atau perekonomian yang mengandalkan aset-aset tak-wujud (intangible assets). Fenomena kedua ini (konteks persaingan dan keunggulan bersaing) dapat dimengerti ketika setiap organisasi berupaya mencari strategi bersaing dan basis daya saing yang tepat untuk unggul. Konsep strategi itu sendiri, seperti didefinisikan Barney (2007), adalah berkaitan dengan teori sebuah organisasi tentang bagaimana ia berkinerja tinggi dan unggul di dalam bidang bisnisnya. Dalam wacana pencarian cara untuk unggul (baca: strategi), maka terjadi pergeseran pandangan dalam memahami strategi. Jika pada model yang dikembangkan Porter atau disebut pendekatan organisasi industri/OI, strategi adalah semata soal pemosisian di pasar. maka kelompok RBV menilai bahwa nilai ekonomis dan keunggulan kompetitif sebuah organisasi ekonomi terletak pada kepemilikan dan pemanfaatan secara efektif sumber daya organisasi yang mampu menambah nilai (valuable), bersifat jarang dimiliki (rare/scarce/unique), sulit untuk ditiru (imperfectly immitable/hard to copy), dan tidak tergantikan oleh sumber daya lain (non-substitutable) (Barney 1991, 2001, 2007; Lewin and Phelan 1999; Wright, McMahan, dan McWilliams 1992). Oleh karena itu, strategi bersaing harus diletakkan pada upaya-upaya mencari, mendapatkan, mengembangkan, dan memertahankan sumber daya-sumber daya strategis. Dua sumber daya strategis yang dimaksud adalah manusia (modal manusia) dan organisasi(organizational capital). Dalam istilah yang berbeda, kita lalu dapat menyandingkannya dengan konsep modal intelektual.
Pada intinya, terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam lingkungan sekitar organisasi yang kemudian telah mendorong makin relevannya pembicaraan mengenai modal intelektual. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat untuk membahas sejumlah hal di seputar konsep model intelektual ini untuk membangun pemahaman dan cara pandang terhadapnya, di samping untuk mendorong diskursus yang lebih jauh atasnya, termasuk untuk menstimulasi baik riset maupun formulasi strategi dan kebijakan yang relevan.
Kedua, pada tataran mikro perusahaan, tampaknya agak sulit untuk tidak menyertakan atau mengaitkan perkembangan ini di dalam konteks persaingan dan pencarian basis keunggulan kompetitif. Wacana kompetisi dan keunggulan bersaing mengalami pergeseran yang sangat signifikan dalam perkembangan kajian strategi bisnis dan pembangunan ekonomi. Mulanya dikenal teori keunggulan absolut dan keunggulan komparatif dalam konteks interaksi perdagangan atau perekonomian antar wilayah atau internasional. Kemudian muncul pemikiran brilian dari Michael Porter tentang keunggulan bersaing (competitive advantage) di era 1980an. Namun, pandangan Porter kemudian dianggap tidak mampu menjelaskan secara komprehensif fenomena keunggulan sebuah organisasi atau negara dari lainnya. Belakangan muncul aliran baru dalam analisis keunggulan bersaing yang dikenal dengan pendekatan berbasis sumber daya (resource-based view of the firm/RBV). Pandangan terakhir ini saya nilai sebagai yang relevan dalam konteks perekonomian yang kuat dicirikan oleh keunggulan pengetahuan (knowledge/learning economy) atau perekonomian yang mengandalkan aset-aset tak-wujud (intangible assets). Fenomena kedua ini (konteks persaingan dan keunggulan bersaing) dapat dimengerti ketika setiap organisasi berupaya mencari strategi bersaing dan basis daya saing yang tepat untuk unggul. Konsep strategi itu sendiri, seperti didefinisikan Barney (2007), adalah berkaitan dengan teori sebuah organisasi tentang bagaimana ia berkinerja tinggi dan unggul di dalam bidang bisnisnya. Dalam wacana pencarian cara untuk unggul (baca: strategi), maka terjadi pergeseran pandangan dalam memahami strategi. Jika pada model yang dikembangkan Porter atau disebut pendekatan organisasi industri/OI, strategi adalah semata soal pemosisian di pasar. maka kelompok RBV menilai bahwa nilai ekonomis dan keunggulan kompetitif sebuah organisasi ekonomi terletak pada kepemilikan dan pemanfaatan secara efektif sumber daya organisasi yang mampu menambah nilai (valuable), bersifat jarang dimiliki (rare/scarce/unique), sulit untuk ditiru (imperfectly immitable/hard to copy), dan tidak tergantikan oleh sumber daya lain (non-substitutable) (Barney 1991, 2001, 2007; Lewin and Phelan 1999; Wright, McMahan, dan McWilliams 1992). Oleh karena itu, strategi bersaing harus diletakkan pada upaya-upaya mencari, mendapatkan, mengembangkan, dan memertahankan sumber daya-sumber daya strategis. Dua sumber daya strategis yang dimaksud adalah manusia (modal manusia) dan organisasi(organizational capital). Dalam istilah yang berbeda, kita lalu dapat menyandingkannya dengan konsep modal intelektual.
Pada intinya, terjadi perubahan-perubahan signifikan dalam lingkungan sekitar organisasi yang kemudian telah mendorong makin relevannya pembicaraan mengenai modal intelektual. Oleh karena itu, tulisan ini dibuat untuk membahas sejumlah hal di seputar konsep model intelektual ini untuk membangun pemahaman dan cara pandang terhadapnya, di samping untuk mendorong diskursus yang lebih jauh atasnya, termasuk untuk menstimulasi baik riset maupun formulasi strategi dan kebijakan yang relevan.
DILEMA TRANSFORMASI KAUM INTELEKTUAL MUDA
Ada adagium yang menyatakan bahwa untuk melihat masa
depan dari suatu negara bangsa maka lihatlah kaum mudanya. Kaum muda memang
fenomenal, gerak sejarah republik ini juga mencatat eksistensi mereka dalam
pelbagai peristiwa nasional. Dimulai dari Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928,
proklamasi kemerdekaan 1945, penggulingan orde lama 1966, hingga reformasi
1998. Dapat dikatakan, kaum muda (intelektual) mampu menunjukkan peranannya
sebagai agen transformasi sosial. Namun yang perlu juga dipahami adalah
transformasi sosial ini tidak selalu berbentuk gerakan politik atau berkutat
pada suprastruktur melainkan juga berupa transformasi ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK) terhadap masyarakat di tingkatan basis struktur. Data Badan
Pusat Statistik (BPS) mengenai meningkatnya jumlah pengangguran lulusan
perguruan tinggi tampaknya semakin menguatkan common
sense dalam masyarakat bahwa sekolah tinggi-tinggi tidak menjamin mudah
memperoleh pekerjaan; terutama pekerjaan yang sesuai dengan standar keilmuan
yang dimiliki. Sekedar diketahui, tahun 2000 jumlah penganggur lulusan
perguruan tinggi 277.000 orang (akademi: 184.000); tahun 2001 289.000
(252.000); tahun 2002 270.000 (250.000); tahun 2003 245.000 (200.000); tahun
2004 348.000 (237.000), dan 2005 385.418 (322.836). Walaupun seorang akademisi
berusaha menjelaskan panjang lebar bahwa fungsi pendidikan tidak sepragmatis
itu, namun bagi masyarakat hanyalah sebuah pretensi belaka. Sebagai negara berkembang yang dituntut mampu
berkompetisi dalam era globalisasi, Indonesia sebenarnya menyadari bahwa
pembangunan sumber daya manusia (human investment)
merupakan komplementator utama bagi pembangunan ekonomi dan politik yang
menempati posisi sentral dalam pembangunan nasional. Sistem pendidikan tinggi
selama ini diyakini mampu menghasilkan kompetensi sumber daya manusia yang
berdaya saing. Oleh sebab itu, ironis jika lulusan perguruan tinggi menjadi
pengangguran bahkan angka absolutnya cenderung meningkat per tahun. Secara
umum, tingginya jumlah pengangguran seringkali diakibatkan oleh ketidakmampuan
dunia kerja mengakomodasi tenaga kerja produktif – dalam konteks ini, lulusan
perguruan tinggi. Penulis mencoba berpikir sebaliknya, tingginya jumlah
pengangguran lulusan perguruan tinggi dipicu oleh ketidakmampuan (baca:
kegagalan) lulusan tersebut dalam menciptakan lapangan kerja. Ada apa dengan
sistem pendidikan perguruan tinggi kita?
Seharusnya, sistem pendidikan perguruan tinggi harus mendasarkan dirinya pada human centered development model. Sistem ini sejalan dengan paradigma kritis yang memandang pendidikan harus melakukan refleksi kritis terhadap sistem dominan kemudian melakukan dekonstruksi menuju sistem social yang lebih egaliter. Oleh sebab itu diperlukan ‘pemampuan’ (empowerment) segala potensi manusia dalam membaca dan menganalisa segenap kontradiksi di masyarakat kemudian menemukan solusi alternatif untuk mengatasinya. Sistem ini lebih dari sekedar membentuk intelektual profesional dan kontributif terhadap pembangunan melainkan menuntut pembangkitan kesadaran kritis manusia untuk melakukan transformasi sosial. Dalam bahasa Freire sistem pendidikan ini bertujuan memanusiakan manusia kembali dari proses dehumanisasi.
Seharusnya, sistem pendidikan perguruan tinggi harus mendasarkan dirinya pada human centered development model. Sistem ini sejalan dengan paradigma kritis yang memandang pendidikan harus melakukan refleksi kritis terhadap sistem dominan kemudian melakukan dekonstruksi menuju sistem social yang lebih egaliter. Oleh sebab itu diperlukan ‘pemampuan’ (empowerment) segala potensi manusia dalam membaca dan menganalisa segenap kontradiksi di masyarakat kemudian menemukan solusi alternatif untuk mengatasinya. Sistem ini lebih dari sekedar membentuk intelektual profesional dan kontributif terhadap pembangunan melainkan menuntut pembangkitan kesadaran kritis manusia untuk melakukan transformasi sosial. Dalam bahasa Freire sistem pendidikan ini bertujuan memanusiakan manusia kembali dari proses dehumanisasi.
Keterputusan
ini bukannya tidak disadari, bahkan jauh-jauh hari telah diingatkan oleh
Soekarno dalam pidatonya pada Akademi Pembangunan Nasional di Yogyakarta, 18 Maret
1962 : “…Saudara pada waktu menggali ilmu pengetahuan (praktis) itu tentu telah
merasa sendiri bahwa ilmu pengetahuan, sekadar adalah bekal untuk aktif
membangun, membantu, menyumbang kepada pembangunan nasional. Lebih dari pada
bekal itu masih ada dasar, saudara-saudara, lebih penting daripada bekal itu,
adalah satu hal lain, satu dasar. Dan yang dimaksudkan dengan perkataan dasar
yaitu karakter. Karakter adalah lebih penting daripada ilmu pengetahuan”.
Karakter yang dimaksud oleh Soekarno adalah nalar kritis dalam
menginterpretasikan absurditas realitas sosial sehingga mahasiswa mampu
memosisikan dirinya benar-benar sebagai agen pembaharu bukan sekedar pion
penguat sistem yang telah terbangun.
Kondisi perguruan tinggi di Indonesia memang masih jauh dari cita-cita human centered development. Budaya
riset masih rendah, jikapun ada sebagian besar belum memiliki nilai guna yang
signifikan terhadap masyarakat. Hal ini dilengkapi dengan dukungan
infrastruktur dan finansial yang serba minimal. Sebagai bukti, Tatang H.
Soerawidjaja Kepala Pusat Penelitian Pendayagunaan Sumber Daya Alam dan
Pelestarian Lingkungan, Institut Teknologi Bandung mengatakan, setiap tahunnya
ITB menghasilkan sekitar 500-an penelitian, namun dari jumlah itu yang bisa
diaplikasikan di masyarakat dan dunia industri hanya belasan. Berbeda dengan
perguruan tinggi di luar negeri, semisal Jepang dimana semangat riset telah
mendorong entrepreneurship dan kreativitas
mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi untuk terlibat dalam pembangunan
industri nasional. Oleh sebab itu, logis jika tranformasi ilmu pengetahuan dan
teknologi di Indonesia berjalan sangat lambat, bahkan mulai tertinggal dalam
skala regional. Menurut Brian Yuliarto, pada tahun 2004 misalnya, hanya 522
kertas kerja ilmiah karya peneliti Indonesia yang termuat dalam jurnal
internasional. Itu hanya sepertiga dari jumlah kertas kerja ilmiah asal
Malaysia (1.438). Di lingkungan ASEAN, Indonesia hanya lebih baik daripada
Filipina dan Brunei Darussalam, yang jumlah kertas kerja ilmiahnya lebih
sedikit dibandingkan dengan Indonesia. Pada tataran ini, perguruan tinggi di
Indonesia sebagai pusat pendidikan vokasional akhirnya menjadi fabrikasi dan
mekanisasi tenaga kerja tidak produktif (pasif), tanpa sense of inovatif, serta kehilangan
nalar kritis dan jiwa entrepreneurship
sehingga terjebak untuk taat (obedient) dalam
iklim akademis non kritis transformatif.
Tulisan ini mengajak para pemuda
bahwa betapa pentingnya peren intelektual muda dengan modal idealismenya dan
berbekal nalar kritis mampu berkontribusi dalam pembangunan bangsa yang ideal.
Penulis :
Ketua
Umum HMI Komisariat Untirta Periode 2009-2010
Mahasiswa
Pascasarjana IPB
Ketua
Kajian Strategis Pengurus Keluarga Mahasiswa Banten (KMB) Bogor periode
2015-2016.
Biodata
Penulis
Nama :
Wakyudi
Tempat, tgl lahir :
Pandeglang, 14 -03-1987
Alamat :
Kecamatan Cikeusik, Kab. Pandeglang Banten
Tempat Tinggal :
Jln Batu Hulung KelurahanMarga Jaya, Kec. Bogor Barat, Kota Bogor
No HP :
087773525980
Pedidikan :
1. SDN Sukamulya 1
2. SMPN 2 Cikeusik
3. SMAN 1 Wanasalam
4. S-1 Fakultas Pertanian UNTIRTA SERANG
5. S-2 Program studi Arsitektur Lanskap
IPB - Bogor
Pengalaman Organisasi
1. Tim Pendiri Ikatan Mahasiswa
Cilangkahan (IMC) Lebak
2. Ketua umum Himpunan Mahasiswa Islam
HMI Kom. Untirta periode 2009
3. Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Cabang Serang bidang kewirausahaan dan pengembangan profesi
4. Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Pemuda
Cibaliung (HMPC) Pandeglang
5. Keluarga Mahasiswa Banten (KMB)-Bogor
6. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM)
UNTIRTA
Pegalaman Kerja
1. Penyluh Pertanian Swadaya Masyarakat
Pandeglang
2. Wartawan Harian Radar Banten.
3.
Konsultan
Lingkungan dan Enginering
0 comments:
Post a Comment