Saturday 18 February 2017

”BERBENAH DAN BERDAMAI UNTUK NEGERI, DEMI KEUTUHAN NKRI”


Yayat S Samara Tunggal
(KMB Bogor/ Universitas Pakuan)
Ada sesuatu hal yang begitu instan, dimana untuk berhubungan dengan dunia luar kita hanya butuh menggenggam gadget, koneksi internet serta memainkan sosial media yang tanpa disadari telah merenggut sebagian pola pikir manusia di muka bumi ini, terlebih di Indonesiaku tercinta.
Katakanlah saya juga terjebak dalam sudut pandang yang menggelikan ini. Katakanlah saya salah menyikapi kemajuan, namun ada hal-hal yang masih saya pelajari sampai hari ini. Sudahkah anda mencoba sendiri sebelum menjustifikasi?
Melalui layar 5,5 inch yang sederhana ini, saya memang melihat dunia tanpa batas yurisdiksi. Namun, kata orang bijak, "You are what you eat". Belakangan saya tahu bahwa hal itu tidak hanya berlaku untuk makanan perut, tapi juga "makanan pikiran". Apa yang telah kita masukkan dalam pikiran, jiwa, dan hati kita selama ini menentukan seperti apa diri kita. Lalu pernahkah bertanya, yang saya telan selama ini lebih banyak racun atau gizinya?

Pantas kalau diri kita masih gini-gini saja.
Mungkin ini sebabnya. Perhatikan, kondisi "sumber makanan pikiran" kita semakin tercemari. Iya semakin tercemari oleh berita-berita gelap, oleh media-media yang syarat kepentingan yang masih diragukan keabsahan dari sebuah pertanggunggungjawaban atas sikap netralitas dan independensinya. Bahkan jikapun demikian hebatnya kita langsung tersugesti akan hal itu dan menelan mentah-mentah sajian dari hidangan pemberitaan tersebut tanpa adanya proses filterisasi dalam diri, hingga menimbulkan spekulasi-spekulasi yang masih menduga-duga dan belum tentu legalitas dan kebenarannya, dan celakanya hal ini biasanya berhasil dalam menggiring opini publik.
Barangkali saya lelah menjelaskan pada satu persatu orang tentang negatifnya menyebarkan hoax dan kebohongan. Kita juga tidak pernah kehabisan alasan untuk saling membenci. Apa-apa dijadikan 'amunisi'. Sama-sama manusia, kalau beda negara rusuh. Sama-sama Indonesia, kalau beda agama rusuh. Sama agamanya, beda pandangan juga rusuh. Terus gimana nih maunya?
Padahal, kalau bukan Tuhan, lalu siapa lagi yang menciptakan SEMUA perbedaan ini? Kalau Dia mau, Dia bisa saja menjadikan semua manusia 'serupa' dalam segala hal. Lalu, kenapa kita lancang menentang Tuhan dengan meludahi perbedaan?
Saya sendiri tidak pernah mengunfriend yang beda pandangan, saya dan anda bisa bersahabat walaupun kita tidak sepakat.Pernah lihat orang yang penuh permusuhan hidupnya tenang? Bagaimana kita berharap ada bunga yang tumbuh di atas kawah berapi?
Yang dirahmati Tuhan adalah hubungan, bukan permusuhan. Unity in diversity.
Yang saya heran, apa-apa dijadikan perdebatan. Seperti ritual medsos tahunan, mulai dari ucapan hari raya keagamaan, perayaan tanggal sejarah, bahkan juga jumlah peserta unjuk rasa! Diri ini merasa lebih baik karena pihak lain terlihat lebih buruk. Kita merasa senang atas ketidak-baikan orang.
Tuhan mana yang mendukung karakter seperti itu?
Padahal, this too shall pass. Semua hal pasti akan berlalu sendiri silih berganti. Coba renungkan saya ingin mengajak anda untuk berada di 10 tahun kemudian, ketika 10 tahun kemudian, apakah yang kita pertengkarkan ini lebih berharga daripada hubungan baik kita?
Padahal, kata "musuh" hanyalah ilusi, sebuah sekat yang kita buat sendiri.Tuhan tidak mengatakan bahwa Ia hanya dekat dengan pembuluh nadi orang beragama X dan bersuku Y, Tuhan dekat dengan pembuluh nadi semua orang.
Sudah lupa, ya?
Yang aneh adalah, jika tidak pro pokoknya salah! Kontra salah, netral pun juga di kambing hitamkan. Kita melihat seringkali muncul berita yang ketika dicermati terkesan memaksakan, tiap jam tiap hari di liput oleh awak media. Khalayak publik seakan dipaksa untuk menonton sebuah pertunjukan drama, yang padahal tidak ada sedikitpun manfaat, faedah dan atau relasi atau solusi untuk membangun kualitas diri membangun kemajuan bangsa dan negaranya, yang ada terus saling serang baik di media dan yang lainnya dan terus menebar benih permusuhan. Tidak ada hal lain yang ditunjukkan kecuali sifat kekanak-kanakan.
Saya juga teringat tentang kisruh aksi boikot di jejaring sosial, bahkan dalam pandangan kaca mata ekonomi saya yang masih junior, aksi boikot terhadap produk perusahaan raksasa tidak akan berpengaruh secara signifikan pada owner-owner atas yang sudah kaya raya, yang kalian bahayakan adalah penjual-penjual kecil yang masih bingung cari makan tiap harinya, yang mereka bahkan tidak tahu apa-apa tentang kebijakan perusahaan bahkan kebijakan pemerintah itu sendiri.
Ada sebuah peribahasa Tiongkok yang layak untuk kita renungkan. "Menyimpan dendam seperti meminum racun tapi berharap orang lain yang mati."
Buddha pun berkata, "Anda tidak dihukum karena kemarahan Anda, Anda dihukum oleh kemarahan Anda."
Jika tetap tidak bisa mengendalikan kemarahan? DIAM!
Setidaknya kemarahan kita tidak akan menjadi sebab kemarahan orang lain.
Barangsiapa yang diam, dia selamat.” (HR. Tirmidzi).
Dan saya tahu, dan memahami apa yang ada di fikiran saudara, memang ada saatnya memproteksi diri. Ada saatnya mempertahankan kenyamanan pribadi, ada saatnyaa untuk bersikap dan bertindak. Tapi bagi saya, ada juga saatnya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Dan bagi saya komentar yang serampangan dan menghakimi itu lebih mirip ujaran kebencian dibanding buah pemikiran seorang Negarawan.


By :
Yayat S Samara Tunggal (024013044)
Mahasiswa Universitas Pakuan Bogor
Ig : yayat_s_samara_tunggal (085888167246)

#bangkitIndonesiaku
#KMBBogor
#sadulursalemburpageuh
#sahatesarasasajiwa

CP : KMB Bogor (08151992431)

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | JCPenney Coupons