Yayat S Samara Tunggal
(KMB Bogor/ Universitas Pakuan)
(KMB Bogor/ Universitas Pakuan)
Ada sesuatu hal
yang begitu instan, dimana untuk berhubungan dengan dunia luar kita hanya butuh
menggenggam gadget, koneksi internet serta memainkan sosial media yang tanpa
disadari telah merenggut sebagian pola pikir manusia di muka bumi ini, terlebih
di Indonesiaku tercinta.
Katakanlah
saya juga terjebak dalam sudut pandang yang menggelikan ini. Katakanlah saya
salah menyikapi kemajuan, namun ada hal-hal yang masih saya pelajari sampai
hari ini. Sudahkah anda mencoba sendiri sebelum menjustifikasi?
Melalui
layar 5,5 inch yang sederhana ini, saya memang melihat dunia tanpa batas
yurisdiksi. Namun, kata orang bijak, "You
are what you eat". Belakangan saya tahu bahwa hal itu tidak hanya
berlaku untuk makanan perut, tapi juga "makanan pikiran". Apa yang
telah kita masukkan dalam pikiran, jiwa, dan hati kita selama ini menentukan
seperti apa diri kita. Lalu pernahkah bertanya, yang saya telan selama ini
lebih banyak racun atau gizinya?
Pantas
kalau diri kita masih gini-gini saja.
Mungkin
ini sebabnya. Perhatikan, kondisi "sumber makanan pikiran" kita
semakin tercemari. Iya semakin tercemari oleh berita-berita gelap, oleh media-media yang syarat
kepentingan yang masih diragukan keabsahan dari sebuah pertanggunggungjawaban
atas sikap netralitas dan independensinya. Bahkan jikapun demikian hebatnya
kita langsung tersugesti akan hal itu dan menelan mentah-mentah sajian dari
hidangan pemberitaan tersebut tanpa adanya proses filterisasi dalam diri,
hingga menimbulkan spekulasi-spekulasi yang masih menduga-duga dan belum tentu
legalitas dan kebenarannya, dan celakanya hal ini biasanya berhasil dalam
menggiring opini publik.
Barangkali
saya lelah menjelaskan pada satu persatu orang tentang negatifnya menyebarkan
hoax dan kebohongan. Kita juga tidak pernah kehabisan alasan untuk saling
membenci. Apa-apa dijadikan 'amunisi'. Sama-sama manusia, kalau beda negara
rusuh. Sama-sama Indonesia, kalau beda agama rusuh. Sama agamanya, beda
pandangan juga rusuh. Terus gimana nih maunya?
Padahal,
kalau bukan Tuhan, lalu siapa lagi yang menciptakan SEMUA perbedaan ini? Kalau
Dia mau, Dia bisa saja menjadikan semua manusia 'serupa' dalam segala hal. Lalu,
kenapa kita lancang menentang Tuhan dengan meludahi perbedaan?
Saya
sendiri tidak pernah mengunfriend yang beda pandangan, saya dan anda bisa
bersahabat walaupun kita tidak sepakat.Pernah lihat orang yang penuh permusuhan
hidupnya tenang? Bagaimana kita berharap ada bunga yang tumbuh di atas kawah
berapi?
Yang
dirahmati Tuhan adalah hubungan, bukan permusuhan. Unity in diversity.
Yang
saya heran, apa-apa dijadikan perdebatan. Seperti ritual medsos tahunan, mulai
dari ucapan hari raya keagamaan, perayaan tanggal sejarah, bahkan juga jumlah
peserta unjuk rasa! Diri ini merasa lebih baik karena pihak lain terlihat lebih
buruk. Kita merasa senang atas ketidak-baikan orang.
Tuhan
mana yang mendukung karakter seperti itu?
Padahal,
this too shall pass. Semua hal pasti
akan berlalu sendiri silih berganti. Coba renungkan saya ingin mengajak anda
untuk berada di 10 tahun kemudian, ketika 10 tahun kemudian, apakah yang kita
pertengkarkan ini lebih berharga daripada hubungan baik kita?
Padahal,
kata "musuh" hanyalah ilusi, sebuah sekat yang kita buat sendiri.Tuhan
tidak mengatakan bahwa Ia hanya dekat dengan pembuluh nadi orang beragama X dan
bersuku Y, Tuhan dekat dengan pembuluh nadi semua orang.
Sudah
lupa, ya?
Yang
aneh adalah, jika tidak pro pokoknya salah! Kontra salah, netral pun juga di
kambing hitamkan. Kita melihat seringkali muncul berita yang ketika dicermati terkesan
memaksakan, tiap jam tiap hari di liput oleh awak media. Khalayak publik seakan
dipaksa untuk menonton sebuah pertunjukan drama, yang padahal tidak ada
sedikitpun manfaat, faedah dan atau relasi atau solusi untuk membangun kualitas
diri membangun kemajuan bangsa dan negaranya, yang ada terus saling serang baik
di media dan yang lainnya dan terus menebar benih permusuhan. Tidak ada hal
lain yang ditunjukkan kecuali sifat kekanak-kanakan.
Saya
juga teringat tentang kisruh aksi boikot di jejaring sosial, bahkan dalam
pandangan kaca mata ekonomi saya yang masih junior, aksi boikot terhadap produk
perusahaan raksasa tidak akan berpengaruh secara signifikan pada owner-owner
atas yang sudah kaya raya, yang kalian bahayakan adalah penjual-penjual kecil
yang masih bingung cari makan tiap harinya, yang mereka bahkan tidak tahu
apa-apa tentang kebijakan perusahaan bahkan kebijakan pemerintah itu sendiri.
Ada
sebuah peribahasa Tiongkok yang layak untuk kita renungkan. "Menyimpan dendam seperti meminum racun tapi
berharap orang lain yang mati."
Buddha
pun berkata, "Anda tidak dihukum
karena kemarahan Anda, Anda dihukum oleh kemarahan Anda."
Jika
tetap tidak bisa mengendalikan kemarahan? DIAM!
Setidaknya
kemarahan kita tidak akan menjadi sebab kemarahan orang lain.
“Barangsiapa yang diam, dia selamat.”
(HR. Tirmidzi).
Dan
saya tahu, dan memahami apa yang ada di fikiran saudara, memang ada saatnya
memproteksi diri. Ada saatnya mempertahankan kenyamanan pribadi, ada saatnyaa
untuk bersikap dan bertindak. Tapi bagi saya, ada juga saatnya untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi. Dan bagi saya komentar yang serampangan dan menghakimi
itu lebih mirip ujaran kebencian dibanding buah pemikiran seorang Negarawan.
By
:
Yayat S Samara Tunggal (024013044)
Mahasiswa
Universitas Pakuan Bogor
Ig
: yayat_s_samara_tunggal (085888167246)
#bangkitIndonesiaku
#KMBBogor
#sadulursalemburpageuh
#sahatesarasasajiwa
CP : KMB Bogor (08151992431)
0 comments:
Post a Comment