Mengenang
Kembali Makna Sakralitas Sumpah Pemuda
Oleh
: Yayat Sudarjat
Mahasiswa
Banten di Universitas Pakuan Bogor
’’Peradaban suatu
bangsa akan menemui ajal apabila tindakan generasi mudanya yang keterlaluan
diperbolehkan berlanjut”
Louer (1993) kutipan naskah kuno
Mengenang 28
Oktober 1928, salah satu hari sakral yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, sejak
dideklarasikannya momentum penting Sumpah Pemuda yang menjadi bukti otentik
yang tidak dapat dipungkiri, bahwa pemuda memiliki peranan yang tidak dapat di
pandang sebelah mata dalam perjalanan panjang lika-liku sejarah bangsa
Indonesia. Sejumlah fakta sejarah telah mencatat dengan tinta emas peran dan
kekuatan pemuda dalam mendorong terjadinya gelombang perlawanan dalam mencapai
suatu cita-cita perubahan. Sebut saja, Proklamasi 1945 hingga Reformasi 1998.
Bahkan dalam konteks ini saya teringat Christina Macy dan Sheila Kinkade dalam
buku Our Time is Now: Young People
Changing the World menekankan kembali bahwa abad ke-21 adalah abad kaum
muda.
Menjadi sebuah hal klasik yang
menarik, ketika berulangkali disebutkan bahwa sejarah perjalanan bangsa
Indonesia sejatinya tidak lepas dari kehadiran peran kaum muda. Di negeri
khatulistiwa ini, peran pemuda sangat jelas terlihat pada awal perjuangan
kemerdekaan, masa kemerdekaan itu sendiri, dan pasca kemerdekaan bangsa.
Singkat kata, dari prosesi tahapan-tahapan momentum kebangsaan, selalu
disuguhkan jejak tapak eksistensi kepemudaan.
Dalam cerminan sejarah tentang berbagai
dokumen dan referensi, ketika kiprah pemuda di Indonesia diawali pada permulaan
tahun 1908 yang ditandai dengan berdirinya Budi Utomo. Semangat kebangkitan ini
kemudian mengkristal dengan dideklarasikannya momentum akbar, yakni Sumpah
Pemuda, pada tanggal 28 Oktober tahun 1928. Peristiwa ini memberi hikmah yang
luar biasa pertama catatan penting dalam mempersatukan perjuangan pemuda
dan perjuangan bangsa secara terintegritas. Kedua, Sumpah Pemuda
meletakkan arah dan tujuan perjuangan menentang kebiadaban kolonialisme.
Sehingga, ketiga, Sumpah Pemuda sejatinya adalah genealogi-politik
menuju proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Maka
dalam torehan tinta sejarah bangsa, momentum tersebut telah menemukan sebuah
konsepsi geopolitik dan identitas kebangsaan yang memaknai eksistensi sebuah
negeri berlabelkan Indonesia. Dengan makna lain, bahwa Sumpah Pemuda adalah
sebuah pernyataan politik dan sekaligus gerakan kebudayaan yang mengawali
sebuah aktivisme pergerakan kepemudaan.
Ada makna lain dibalik sumpah pemuda.
Iya tidak lain adalah sebuah factum unionis atau akta lahirnya sebuah
definisi bangsa berikut identitas nasional (bahasa Indonesia dan simbol merah
putih) dan unit geografi politiknya (tanah air Indonesia). Definisi itu lebih
tegaskan dalam syair lagu Indonesia Raya yang diperdengarkan secara resmi untuk
kali pertama. Ketika itu dalam jiwa kaum muda, Indonesia adalah sebuah ikon
untuk mengenyahkan (me-reflace) sebutan Hindia Belanda. Hal ini
merupakan sebuah konsentiasi untuk menjadi sebuah bangsa yang otonom dan
mandiri.
Sumpah Pemuda mencoba merefleksikan
adanya unsur rakyat Indonesia yang ketika itu mengihktiarkan sebuah negara yang
merdeka, keluar dari ketertindasan atas penjajahan kolonial Belanda. Pernyataan
pemuda itu pula adalah konsep aksentuasi rakyat untuk berbangsa dan bertanah
air yang merdeka, dengan pondasi karakter yang dinyatakan sebagai Indonesia.
Bahwa sejak saat itu, revolusi ke arah kemerdekaan bangsa telah diawali. Disaat
itu pula, sejatinya perjuangan bangsa telah menemukan gerbangnya. Bangsa
Indonesia adalah ibu pertiwi,
demikian istilah pemuda-pemuda yang juga menyebutkan dirinya sebagai anak-anak bangsa.
Dalam hal ini, ada makna cinta-kasih sayang nan tulus antara ibu dan anak. Si
ibu menyapih si anak, sang anak bangsa menjadi harapan sang ibu pertiwi.
Sehingga pada momen sakral ini,
negeri Indonesia telah dapat terbayangkan design
wujud rupanya. Terdapat unsur tanah air, unsur bahasa, terdapat pula lagu
kebangsaan, dan juga merah putih telah digunakan sebagai simbol bersama di dada
mereka. Merdeka !, pekikan gemuruh perjuangan mulai menyemangati setiap derap
langkah anak-anak bangsa sejak kala itu.
Peran pemuda setelahnya terlihat
pada awal lahirnya Orde Baru tahun 1966 dengan tuntutan Tritura. Peran pemuda
tampil lagi kemudian dengan mahasiswa sebagai power utamanya. Antara lain Peristiwa Malari tahun 1974, peristiwa
ini dipandang sebagai demonstrasi mahasiswa menentang kedigdayaan modal asing.
Beberapa Pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum
intelektual terhadap Presiden Soeharto kala itu yang memiliki kekuasaan teramat
besar. Di penghujung kekuasaan Orde Baru, kaum muda yang tetap mngedepankan
kekuatan mahasiswa kembali bangkit, sehingga pada tahun 1998 menjadi satu
catatan tersendiri dalam sejarah peradaban di Indonesia. Dilatar-belakangi
krisis ekonomi yang berkepanjangan dan berlanjut menjadi krisis multi-dimensional,
sebuah usaha perubahan sosial yang digerakan oleh mahasiswa, didukung atas kesadaran
bersama kala itu. Momen ini kemudian berkembang menjadi suatu gerakan bersama
yang menuntut perubahan di berbagai bidang, khususnya tentang penataan sistem
pemerintahan.
Benang merah dari berbagai peristiwa
menjadikan bukti kongkret bahwa pemuda selalu menjadi barisan terdepan tentang
kegigihannya dalam usaha-usaha perbaikan bangsa, bahwa pemuda selalu
menempatkan dirinya sebagai agen perubahan (agent of change) bagi negerinya.
Konsepsi peranan ini menempati pikiran dan tindakan mereka untuk selalu
menggelorakan perubahan, menyentuh nilai-nilai, sikap dan pola perilaku dalam
sistem sosial masyarakat. Dari catatan sejarah sejak ikrar Sumpah Pemuda
dicetuskan, selain memberikan makna historis juga terdapat makna filosopis,
yang mengajarkan semangat perjuangan, dedikasi, dan pengorbanan untuk persatuan
dan kesatuan bangsa yang majemuk/multikultural dengan hembusan nafas
nasionalisme.
Demikianlah sejarah yang telah
terjadi dan makna gerakan pemuda tidak berkurang karenanya. Mereka telah meraih
emas-permata pada lembaran sejarah bangsa ini, mereka pula telah menanamkan makna
akan nilai-nilai yang seyogyanya menjadi pegangan kaum muda selanjutnya, di
waktu setelahnya. Kita melihat dengan semakin berperannya
pemuda dalam perubahan dunia. Ada aksioma bahwa sebuah peradaban suatu bangsa
tidak dapat dipisahkan dari peran pemudanya. Karena tidak dapat ter’elakan
bahwa dalam lingkar sejarah suatu bangsa peran pemuda memang sangat menentukan
terhadap peradaban sebuah bangsa itu sendiri. Pemuda memiliki kekuatan energi
potensial untuk melakukan perubahan sejarah. Dalam konteks kekinian peran
pemuda dan eksistensi kaum muda dihadapkan pada situasi yang tidak mudah.
Lalu bagaimana dengan pemuda
Indonesia saat ini ?
Mau bagaimana
dan kemana arahnya ?
Pertanyaan ini
sebenarnya ditujukan bagi segenap kalangan yang mengaku sebagai pemuda
Indonesia, bahwa kualifikasi suatu bangsa ditentukan oleh pemuda yang
dilahirkan. Karena pemudalah yang kelak akan menjadi tulang punggung bangsa ini
ke depan.
Kini sudah
saatnya kita melakukan tinjauan kritis dalam arti bahwa sudah bukan waktunya
lagi bagi pemuda di masa sekarang terus terbuai dan terperangkap dengan sebuah
jubah kebesaran historis dari peran pemuda di masa lampau, justru kini telah
tiba waktunya untuk menggoreskan karya dan tinta sejarahnya sendiri. Sudah
saatnya bagi kita untuk melakukan analisis kritis akan kondisi realitas yang
terjadi dengan apa yang dinamakan sebuah critical
conciousness hingga melahirkan direct
action. Menilik realitas pemuda saat ini, dari salah satu sudut kecil
betapa kini persatuan antar pemuda seakan mulai terkikis dan melemah, dimulai
dari panggung apatizm atau
gemerlapnya dunia hedonistik yang menggila, belum lagi tawuran antar suporter
sepakbola, hingga tawuran yang melibatkan pelajar/mahasiswa yang notabene
adalah kalangan pemuda yang kelak menjadi tulang punggung peradaban bangsa ini.
Tak bisa
disanggah hal ini merupakan sebuah hal ironis sekaligus memprihatinkan. Mengapa
? Karena realitas ini tentu berbanding terbalik dengan semangat persatuan yang
didengungkan dalam butir-butir Sumpah Pemuda. Apalagi mahasiswa adalah golongan
intelektual yang keberadaannya memperoleh singgasana yang dianugerahi gelar
tinggi di tengah masyarakat. Mulai dari agent
of change, kalangan terpelajar, avant
garde, agent social of control dan lain sebagainya. Louer (1993) pernah
mengutip sebuah kalimat dari naskah kuno ’’peradaban
suatu bangsa akan menemui ajal apabila tindakan generasi mudanya yang
keterlaluan diperbolehkan berlanjut”. Louer berkeyakinan
bahwa generasi muda atau pemudalah yang kelak akan menjadi pemimpin bangsa.
Jika generasi muda tidak mempersiapkan diri untuk menatap kehidupan di masa
depan maka jangan harap bangsa tersebut akan maju dan berkembang.
Eksistensi
pemuda hampir selalu menjadi penggerak perubahan suatu bangsa. Bahkan jika
ditinjau menggunakan teori kelasnya Karl Marx, pemuda diposisikan dalam kelas
sosial menengah yang begitu strategis. Yaitu, sebagai kekuatan penyeimbang (counter balance) dan pembuat solidaritas
(solidarity maker) antara rakyat dan negara. Begitu strategisnya,
maka dalam kancah sosial politik keberadaan pemuda pun menjadi pusat perhatian
dan simpati. Ide-ide yang disuarakan oleh kaum muda sering dianggap perwujudan
moral atas suara rakyat. Sebab, gagasan dan ide-ide yang disuarakan selalu
mencerminkan tendensius rakyat bawah (grass
root).
Melihat
realitas yang ada tentu peran-peran yang diharapkan tadi seakan menjadi hambar
dan kabur ketika banyaknya kasus yang melibatkan pemuda didalamnya. Untuk itu,
mari terus bersama-sama berefleksi dan mengkoreksi diri untuk mengembalikan
semangat Sumpah Pemuda dengan penuh khidmat. Jangan sampai momentum ini hanya menjadi
ajang seremonial belaka. Siapa pun yang mengaku pemuda, wajib menyadari peran
mereka bagi masa depan bangsa sehingga sudah sepantasnya memaknai, memahami,
dan menghayati serta mampu mengaktualisasikannya dalam menjawab segenap
problematika bangsa minimal di lingkungan kampusnya, dilingkungan sekitarnya
atau di tempat tinggalnya.
Perjuangan
pemuda kini bukan lagi tentang cerita angkat senjata atau bambu runcing yang
dihadapkan dengan imperalisme penjajah. Namun masalah saat ini bagi kaum muda
adalah dihadapkannya pada permasalahan bangsa yang menjadi tanggung jawab kita
bersama, bayangkan jika tanpa pemuda ketika suatu hari nanti muncul kembali
musuh bersama berupa penguasa atau rezim otoritarianizm
hingga krisis moralitas yang menggila dan kejahatan-kejahatan lainnya mulai
dari kejahatan korupsi, kemiskinan, penindasan, pembodohan dan ketidak-adilan
menyelinap di pangkuan Ibu Pertiwi. Jadi, walaupun berbeda ruang waktu dan
dimensi ketika situasi Sumpah Pemuda dideklarasikan 28 Oktober 1928 dengan saat
ini, namun substansi peran dan idealisme semestinya tetap dipegang teguh untuk
menjawab persoalan kebangsaan dengan cara-cara yang relatif berbeda.